RODA GILAZ - Hidup di
Jakarta memang keras dan kejam. Hal ini yang diraskan pasangan Setio Puji
Rahardjo dan istrinya Retno. Pasangan yang menikah pada 2013 lalu ini, tak
mempunyai rumah. Satu-satunya harta yang dimilikinya hanyalah gerobak, yang
ketika malam disulap jadi kamar tidur.
![]() |
ilustrasi. (metrotvnews.com) |
Baju dan sedikit uang dimiliki disimpan di dalam gerobak ini. Gerobak
ini juga yang menjadi andalan mereka untuk mencari nafkah, yakni untuk memungut
rongsokan dari sudut-sudut Ibu Kota Jakarta. Mereka tak sendiri, ada ratusan
bahkan ribuan orang di Jakarta seperti ini, mereka sering disebut “Manusia
Gerobak”.
Namun tak sampai di sini kemalangan nasib Setio dan Retno. Beberapa
tahun lalu Retno hamil. Bukan karena tak bahagia melihat kehamilan itu, namun himpitan ekonomi dan
ketiadaan yang dimiliki pasangan ini, kehamilan Retno menjadi awal dari
musibah.
Selama kehamilan, tak ada asupan gizi yang bisa diberikan untuk
pertumbuhan janinnya. Perutnya terus membesar tanpa pernah mendapat pemeriksaan
dari dokter, untuk mengecek kondisi kehamilannya. Hingga suatu ketika, Retno
merasakan akan segera melahirkan.
Dilangsir detik.com, pada
27 Februari 2012 malam, keduanya memarkir gerobaknya di depan emperan toko yang
sepi di Jalan Otista Raya, Jakarta Timur. Saat menjelang tengah malam, Retno
mules dan merasakan bayinya akan lahir. "Saya sepertinya mau lahiran,"
kata Retno kepada suaminya. "Udah, kami tiduran di situ saja," ujar
Setio.
Lalu Retno tidur telentang digerobak dengan kaki mengangkang. Ia
lalu mengurut-urut sendiri perutnya dengan rasa sakit yang luar biasa. Setio
lalu ikut mengurut perut istrinya afar sang bayi segera keluar. Setelah melalui
perjuangan maha hebat, bayi tersebut lalu keluar tapi langsung terjatuh ke
tanah.
Retno yang tidak tahan dengan sakit tersebut tidak kuasa menahan
kesadarannya dan pingsan. Darah bercucuran di seputar gerobak. Setio lalu
membersihkan darah tersebut dengan kain sarung seadanya. "Rat, anaknya
mati," kata Setio kepada istrinya setelah Retno siuman.
Kondisi ini membuat Setio bingung. Ia tak bisa berbuat banyak, ia
juga tak bisa merepotkan orang lain untuk mengurus istrinya yang baru
melahirkan dan anaknya yang lahir dan mati. Ia semakin stres memikirkan biaya
pemakaman yang mahal.
Setio lalu memasukkan bayi malang tersebut ke dalam sebuah kardus
bekas air minuman. Keesokannya, bayi malang itu dipindahkan ke dalam karung. Di
sudut pojok bawah jembatan tol Cawang, Setio membakar karung tersebut dengan
kertas yang ditumpuk dan sampah-sampah yang ada. Dalam hatinya Setio tidak mau
membuat susah orang-orang di sekelilingnya, sehingga nekat membakar anaknya
itu. "Pak, jangan," kata Retno melihat suaminya membakar anaknya.
Lalu Retno mengambil air dan menyiramkan ke karung tersebut. Api
mati.
Dua hari berlalu, karung bayi yang dibakar itu dibiarkan teronggok
di atas tumpukan sampah. Hingga seorang anak menemukan karung tersebut dan
segera memberitahu satpam gedung yang paling dekat dengan lokasi tumpukan
sampah tersebut. Kasus ini lalu segera dilaporkan ke Polsek Jatinegara.
Aparat yang mendapati laporan ini lalu segera menyelidiki lokasi
dan melakukan olah TKP. Penyidik menginvestigasi siapa saja yang terlibat kasus
ini.
Dua hari setelah laporan, Setio-Retno dibekuk petugas tengah tidur
di emperan toko meber di Jalan Otista Raya. Saat subuh belum benar menyapa,
pasutri itu tak lagi tidur di gerobak tetapi di sel penjara.
Proses peradilan terus berlangsung. Jaksa Penuntut Umum menuntut
keduanya dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Pada 9 September 2015,
Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) menghukum Setio selama 9 bulan
penjara. Setio terbukti melakukan kejahatan menyembunyikan kelahiran dan
kematian anak.
Atas vonis ini, jaksa mengajukan banding dan bersikukuh si pemulung
malang itu harus dihukum 6 tahun penjara. Tapi apa kata majelis tinggi? "Tidak
dapat menerima pemohonan banding jaksa," demikian putus Pengadilan Tinggi
(PT) Jakarta sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Selasa
(12/1/2016).
Duduk sebagai ketua majelis Heru Mulhono Ilwan dengan anggota
Elnawasih dan Panusunan Harahap. Permohonan banding tidak diterima karena
diajukan melebihi waktu yang diberikan yaitu 7 hari. (RG)
0 comments:
Post a Comment