![]() |
ilustrasi |
Roda Gilaz, Jateng -Tahapan
pemungutan dan penghitungan suara Pilkada 2017
tanggal 15 Februari 2017 semakin dekat. Ini merupakan tahapan akhir dari
sebuah proses penyelenggaraan pemilihan, dan pada tahapan ini hasil dari
serangkaian proses penyelenggaraan Pilkada akan diketahui.
Tidak heran
jika tahapan ini menyita perhatian dari banyak pihak, terutama peserta Pilkada
dan Penyelenggara Pilkada. Di Jawa Tengah ada 7 kabupaten/kota yang melakukan
Pilkada 2017 terdiri Banjarnegara, Salatiga, Batang, Jepara, Pati, Cilacap dan
Brebes.
Dari 7
kabupaten/kota tersebut terdiri dari 117 kecamatan, 1.731 desa/kelurahan dan
diperkirakan ada 13.836 jumlah TPS.
Berdasarkan pengalaman, tahapan ini juga merupakan tahapan yang paling
rentan terjadi pelanggaran dan kecurangan.
Koordinator
Divisi Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Jawa Tengah Teguh Purnomo mengatakan,
pelaku pelanggaran Pilkada bisa dari peserta Pilkada, tim kampanye, masyarakat
umum yang mendukung Paslon tertentu, pihak-pihak yang berkepentingan dengan pasangan
calon tertentu dan bahkan penyelenggara Pilkada..
“Pada dasarnya
pada saat tahapan pemungutan dan penghitungan suara, semua TPS memiliki potensi
kerawanan, meski demikian penting untuk dilakukan pemetaan potensi rawan di
TPS,” katanya.
Dalam
pengawasan tahapan pemungutan dan penghitungan Suara, pemetaan TPS rawan ini
menjadi cara utama bagi pengawas Pilkada untuk mencegah terjadinya pelanggaran
dan kecurangan di TPS. Karena berangkat dari peta rawan TPS ini , pengawas
Pilkada dapat menyusun / menyiapkan rencana atau langkah-langkah taktis dan
strategis dalam upaya pencegahan terjadinya pelanggaran dan kecurangan di TPS.
“Pengawas
Pilkada dapat melibatkan semua stakeholder pemilihan untuk terlibat dalam upaya
pencegahan tersebut,” ujarnya.
Mengacu 5 AWAS
Identifikasi
dan pemetaan TPS rawan dalam Pilkada 2017 di Jawa Tengah mengacu 5 (Lima) Awas
atau fokus pengawasan pada Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara yang
antara lain:
Pertama, akurasi data pemilih dan penggunaan hak
pilih, yaitu berkaitan dengan kondisi TPS-TPS yang memiliki kerawanan karena
disebabkan oleh kondisi data pemilih yang telah ditetapkan tidak akurat dan
berpotensi disalahgunakan, serta kondisi TPS yang karena masalah-masalah
tekhnis administratif memiliki potensi pemilih kehilangan hak pilihnya atau
tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Indikator-indikator
dalam aspek ini antara lain DPT yang ditetapkan masih bermasalah (masih banyak
atau terdapat warga Negara yang tidak lagi memenuhi syarat namun terdaftar
dalam daftar pemilih, maupun, warga Negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih
namun belum terdaftar dalam daftar pemilih).
Potensi DPTb
(Pemilih yang datang pada hari pemungutan suara) lebih dari 2,5%. TPS di daerah perbatasan yang rawan eksodus.
TPS di Lapas, TPS yang akan digunakan untuk tempat memilih pemilih dari rumah
tahanan atau rumah sakit atau puskesmas rawat inap.
TPS di
daerah yang tingkat mobilisasi atau perpindahan penduduknya tinggi, misalnya
kota pelajar atau daerah perkebunan atau daeerah industry atau daerah
pertambangan dan lain-lain. TPS di daerah yang penduduknya banyak berdomisili
diluar daerah tersebut namun identitas
kependudukannya masih didaerah tersebut (bekerja atau belajar).
TPS di mana
pemilihnya banyak atau terdapat yang pindah memilih atau TPS yang berpotensi
menjadi tempat memilih pemilih pindahan. Potensi penggunaan hak pilih orang
lain. TPS yang lokasinya sulit dijangkau oleh pemilih. TPS yang memiliki
riwayat, terdapat lebih dari satu pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu
kali. TPS yang tidak aksesibel terhadap penyandang disabilitas.
Kedua,
ketersediaan logistik, adalah kondisi-kondisi TPS yang memiliki potensi masalah
dalam penyediaan atau pemenuhan perlengkapan pemungutan suara dan dukungan
perlengkapan lainnya, baik yang lebih ataupun yang kurang, atau bahkan tidak
tersedia sama sekali pada hari pemungutan dan penghitungan suara sehingga
berpotensi disalahgunakan dan mempengaruhi kwalitas proses dan hasil
pelaksanaan pemilihan.
Adapun
indikator adalah sebagai antara lain, TPS di daerah yang secara geografis sulit
dijangkau ( kepulauan, pegunungan, terpisah sungai atau laut). Akses jalan dan
transportasinya sulit. Faktor alam dan cuaca. Tidak ada jaringan komunikasi dan
listrik. Memiliki riwayat kekurangan atau kelebihan dan bahkan tidak tersedia
logistic pada saat pemilihan. Memiliki riwayat kasus tertukarnya surat suara.
Memiliki riwayat masalah keamanan disitribusi logistik ke TPS.
Ketiga, pemberian
uang atau materi lainnya (money politics). Adalah kondisi TPS yang ditengarai
memiliki potensi terhadap terjadinya aktifitas pemberian uang atau materi
lainnya (money politics) oleh
pihak-pihak tertentu kepada pemilih sehingga mempengaruhi pemilih dalam
mementukan pilihannya termasuk hadir tidaknya pemilih ke TPS.
Indikator-indikator
di antaranya adalah, daerah dengan taraf hidup masyarakat rendah. Daerah dengan
tingkat pendidikan masyarakat rendah. Daerah dengan kultur pemilih yang
pragmatis dan transaksional. TPS di wilayah basis masa calon atau partai
pendukung atau tim kampanye.
Daerah di mana
terdapat pejabat daerah, tokoh masyarakat, pengusaha yang berafiliasi dengan
calon tertentu. Daerah dimana terdapat temuan-temuan kasus money politic pada
Pemilu sebelumnya.
Keempat, keterlibatan
Penyelenggara Negara, adalah kondisi TPS-TPS yang memiliki riwayat atau potensi
adanya keterlibatan aparat penyelenggara Negara dalam proses pemungutan dan
penghitungan suara. Aparat penyelenggara ini terlibat dalam upaya mempengaruhi
pemilih atau penyelenggara, sehingga berdampak pada integrritas proses dan
hasil penghitungan suara.
Termasuk
dalam aspek ini antara lain adalah adanya keterlibatan tokok-tokoh tertentu
yang melakukan intimidasi atau memobilisasi untuk mempengaruhi pilihan pemilih,
atau mempengaruhi netraliitas petugas atau penyelenggara dalam menjalankan
tugas pemungutan dan penghitungan suara.
Indikator-indikatornya
antara lain keterlibatan aparat desa, keterlibatan ASN, keterlibatan aparat
keamanan, keterlibatan penyelenggara Pemilu, riwayat TPS kasus mobilisasi atau
intimidasi terhadap pemilih pada masa pelaksanaan Pemilu sebelumnya, adanya
calon incumbent.
Kelima,
Kepatuhan Prosedur Pemungutan dan Penghitungan (Profesionalitas Penyelenggara).
Aspek ini berkaitan dengan kondisi TPS yang memiliki riwayat pelaksana
pemungutan dan penghitungan suara oleh KPPS tidak sesuai dengan tatacara yang
telah ditentukan. KPPS baik karena sengaja atau tidak sengaja tidak
melaksanakan prosedur pemungutan dan penghitungan suara sesuai ketentuan
sehingga mempengaruhi proses dan hasill pemilihan.
Idikator-indikatornya
antara lain, adanya petugas KPPS yang menjabat lebih dari 2 periode berdasarkan
ketentuan KPU. Kapasitas petugas KPPS rendah. Terjadinya kasus-kasus kecurangan
dan manipulasi suara oleh petugas KPPS pada Pemilu-Pemilu sebelumnya.
Riwayat TPS
yang melakukan pemungutan dan atau penghitungan suara ulang.
Riwayat petugas KPPS yang direkomendasikan
pelanggaran kode etik atau pidana. Adanya keberpihakan petugas KPPS pada calon
tertentu. KPPS yang tidak memberikan formulir model C6 KWK kepada pemilih. KPPS
yang memberikan formurir model C6 kepada orang yang tidak berhak. Temuan pada
Pemilu sebelumnya adanya KPPS yang tidak memberikan formulir model C1 KWK.
Kondisi TPS yang tidak sesuai prosedur.
“Hasil
penyusunan peta TPS rawan ini nantinya akan digunakan sebagai pijakan untuk menyusunan
langkah-langkah upaya pecegahan terhadap pelanggaran dan kecurangan di TPS
menjelang dan selama pelaksanaan tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara,
partisipasi aktif masyarakat dalam pengawalansemua tahapan Pilkada 2017 tetap
merupakan kunci utama sukses Pilkada 2017,” tandas Teguh yang mantan Ketua KPU
Kabupaten Kebumen ini. (*)
0 comments:
Post a Comment