Well, Alphard itu langsung saya geber ke rumah nenek di
Jember. Nyaman! Sungguh nyaman! Meski dalam hati saya masih menyimpan satu
pertanyaan, jangan-jangan ini karena euforia semata alias belum tahu level
Alphard sehingga sekalinya memakai Alphard langsung terkesima. Boleh jadi.
Dua minggu kemudian, saya beli Alphard putih gres. Tipe G 2.5. Alasannya sederhana: lagi
kaya. Saya pikir, mobil baru niscaya lebih nyaman, aman, dan tidak berisiko
menyedot biaya-biaya tak diperlukan di luar dugaan untuk soal-soal
perbengkelan. Alphard hitam saya jual kemudian. Alhamdulillah, rugi 50 juta.
Di tahun itu,
Alphard putih adalah model terbaru (kini telah ada model berikutnya yang
tampangnya mirip robot sakit gigi dengan bokong kotak ala Kim Kardashian meniru
pantat jembar Grand Max). Model 2011 yang saya beli itu, menurut saya, tampilan
depan dan belakangnya lebih kerenlah.
“Ini sungguh
mobil idaman!” demikian testimoni saya saat Alphard putih itu datang. Dibanding
seluruh pengalaman gonta-ganti berbagai jenis mobil, dari sedan, SUV, sampai
MPV, Alphard pasti adalah ma’rifatus sayyarah, puncak spiritualitas pencinta
mobil. Tenaganya sungguh powerful, handling mantap, kabin jelas kedap suara,
dan muatan bisa bejibun atau sangat longgar untuk leyeh-leyeh.
Tapi … belakangan
kok terasa ada dua keanehan yang tak masuk di akal, bahkan sampai kini.
Pertama, ini mobil premium. Mahalnya kampret banget. Tapi
sound-nya sungguh mengecewakan.
Dibanding sound bawaan Accord atau Camry, sound Alphard
sungguh mengenaskan. Padahal harganya jauh di atas dua sedan premium itu. Plus,
tak ada USB port-nya. Heran saya
sama Toyota, apa sulitnya ngasih hal-hal standar begitu ya? Wong segmen
pembelinya jelas banget kelas ekonominya.
Kedua, ini yang
paling fatal, semua anggota keluarga selalu mengeluh pusiiing setiap bepergian
pakai Alphard ini. Bukan hanya istri—yang sebenarnya antimabuk darat, laut, dan
udara—tetapi juga anak dan keponakan-keponakan. Aneh!
Memang, di
driver, di baris depan, tak terasa sama sekali keluhan itu. Pernah saya mencoba
duduk di tengah. Anjiiirrr! Memang limbung benar nih mobil kalau
digeber. Apalagi di belakang. Pantas saja mereka mengeluh pusing.
Bahkan, saking traumanya sama Alphard, setiap kami akan
bepergian dan di depan rumah telah disiapkan Alphard, mereka semua langsung
menekuk muka penuh rasa mual. Sudah siap muntah bahkan sebelum naik kabin.
“Yah, mendingan pakai Innova aja deh, anak-anak ngeluh
pusing semua kalau naik Alphard,” kata istri suatu hari.
Saya terpukul sekali. Saya menangis dan menjerit siang malam
mengingat uang yang telah saya bayarkan untuk memboyong Alphard ini. Tetapi,
sebagai muslim saya harus kuat, inilah keputusan Gusti Allah, melalui Alphard
yang limbung ini.
Bayangkan, lur, gimana nggak sakit hati, Innova lebih dipuja
ketimbang Alphard lo. Sungguh dunia telah makin dekat kiamat: yang benar
dianggap salah, yang kopet dianggap ulama, Innova dianggap lebih nyaman
dibanding Alphard. Bah ….
Saya lalu membawa Alphard, yang kini sebutannya di keluarga
kami telah berubah menjadi Alkampret, itu ke bengkel resmi. FYI, saya selalu
rutin menyervis sesuai buku panduan. Di bengkel, keluhan limbung yang bikin
penumpang pusing itu saya sampaikan dengan jernih. Orang-orang bengkel pun
heran. Mereka lalu melakukan pengecekan secara menyeluruh secara elektronis dan
computerized. Hasilnya, tidak ada masalah apa pun, begitu testimoni mereka.
Mereka hanya menyarankan satu hal: disalonkan saja mobilnya
luar dalam, Pak, untuk mengusir segala bau-bauan yang mungkin potensial
menyebabkan pusing.
Oke, saya manut.
Beres. Lalu kami bepergian. Hasilnya? Sama saja! Pusing semua!
Dengan gemas, kecewa, dan trauma, mobil Alkampret itu saya
jual di tahun 2014. Harganya jempalitan.
Kini, bila bepergian dengan jumlah penumpang di atas lima
orang, saya membawa Innova. Semua
penumpang nyaman. Lelap. Tidak pusing. Jika penumpangnya di bawah lima, kadang
pakai CR-V atau Accord. Penumpang pun nyaman, lelap, tak pusing blas.
Bila berpapasan dengan Alphard di jalanan, saya berkata
kepada anggota keluarga: “Alphard sekarang sudah baru modelnya lo. Beli yuk ….”
Spontan mereka
berteriak. “Nggaaakkk!!! Pusiiinggg!!!”
“Jadi Innova
saja?”
“Iyaaa …!!!”
Asuog.
Ya sih, dalam
hati saya kerap membatin, mungkin saja Alphard putih yang saya beli gres itu
pas kena produk gagalnya Alphard. Gagal boleh, manusiawi. Kesempurnaan hanya
milik Allah.
Tapi
dipikir-pikir, mbok ya jangan Alphard-lah, bro. Mendoan kek, kerupuk upil,
sosis, pukis, atau kolak kek. Itu aja yang sahih gagal. Lha ini gagal
kok Alphard. Rak yo hasyu! (*)
Sumber : Artikel ini sebelumnya tayang di Mojok.co dengan
judul “Produk Gagal Sih Boleh, tapiJangan Alphard Dong”.
0 comments:
Post a Comment