Apalagi menurut
dia, saat ini, kondisi pergulaan nasional semakin berat, kebutuhan nasional 3
juta ton/th dengan impor 50% dan pronas 50% akan goyang.
"Mimpi
swasembada gula 2019 akan semakin jauh karena petani semakin enggan menanam
tebu karena terus merugi, apalagi dikenakan pajak 10%,”katanya Senin (10/7/2017)
di Semarang.
Petani tengah memanen tebu. Kebijakan pemerintah yang menerapkan PPN 10 % dinilai akan memberatkan petani. (Antara) |
Lebih lanjut,
pria yang juga Wakil Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) Bidang Pekerja, Petani dan Nelayan ini menyampaikan bahwa saat ini
problem pertebuan nasional sudah parah.
Sehingga, kata
dia, ambruknya pusat pembibitan tebu nasional membuat varietas bibit unggul
tebu sulit didapatkan petani. Ketersedian pupuk yang terbatas bagi
petani sangat menyulitkan dan belum problem pabrik gula yang sudah tidak
kompetitif.
"Belum
selesai pemerintah melakukan revitalisasi PG dan pembehanan sisi on farm sampai
off farm tiba - tiba dikenai beban pajak bagi petani, ini justru menghambat
produksi gula nasional,”tandasnya.
Lebih dari itu,
Riyono menuturkan bahwa sebagai gambaran saat ini rata-rata pendapatan petani
tebu dengan luasan lahan 900 meter persegi dalam satu kali panen hanya mendapat
uang Rp 2 juta. “Bagaimana mau sejahtera kalau kondisi petani tebu seperti
ini?,”terangnya.
Menurut Riyono,
saat ini produktifitas tanaman tebu petani baru 75 ton/ha dengan rendemen 7 -
7.5% dan biaya menghasilkan gula kurang lebih 10.000/kg.
Sehingga, kondisi
ini tidak stabil karena regulasi soal rendemen dilevel Propinsi dan kabupaten
serta PG belum berpihak kepada petani.
"Menkeu harusnya
memahami kondisi petani tebu, petani jangan dikenakan pajak 10% jika ingin
swasembada gula. Jika tidak dibatalkan maka siap - siap saja produksi gula akan
anjlok karena petani enggan menanam tebu kembali. Impor gula akan
semakin menggila,”pungkasnya. (rdg)
0 comments:
Post a Comment