Rida Gilaz, Pati – Di dalam sejarah berdirinya Kabupaten Pati, banyak
diketahui jika ibu kota daerah ini berada di Desa Kemiri saat bernama Kadipaten
Pesantenan, dan dipindah ke Desa Kaborongan saat nama daerahnya berganti dengan
Kadipaten Pati, sampai saat ini.
Namun selain dua desa
itu, Dukuh Gambiran, di Desa Sukoharjo, Kecamatan Margorejo, juga disebut-sebut
pernah menjadi ibu kotanya Kadipaten Pati pada abad ke-16. Pernyataan ini
muncul dari pegiat sejarah Pati, Sugiyono.
![]() |
Pegiat sejarah Pati, Sugiono (berpeci) melakukan ziarah
di Makam Jati Kusumo, Dukuh Gambiran, Sukoharjo, Pati. (KORAN MURIA)
|
Sumber itu ia peroleh
dari literasi sejarah Serat Walisongo dan catatan De Graaf. Dia bersama pegiat
sejarah lain menggunakan metode metahistoris, yang dijadikan petunjuk untuk
menemukan bukti-bukti sejarah.
“Sunan Pati atau Ali
Nurul Yaqin, cucu Sunan Ngerang merupakan bupati ke-7, kemudian dilanjutkan
putranya, Andum Jawi yang akrab disebut babad sebagai Ki Penjawi. Ini terjadi
sekitar abad ke-16 di mana Gambiran sebagai ibu kotanya,” kata Sugiyono kepada
Koran Muria.
Kala itu, Gambiran
adalah sebuah bagian pulau atau semenanjung Muria. Pulau Muria dan Jawa adalah
dua wilayah yang berbeda, karena dipisahkan selat atau laut Jawa, sebelum
mengalami sedimentasi dan menyatu seperti sekarang ini.
“Kenapa Gambiran? Karena
waktu itu Gambiran merupakan bibir pantai selat Patyam, di mana seluruh
transportasi melalui jalur air. Ejaan Patyam disebut dalam sejumlah naskah,
istilah sekarang dikenal dengan nama Pati Ayam,” tuturnya.
Menurutnya, Sunan
Ngerang hanya ada satu, yaitu Mohammad Nurul Yaqin. Sebab, anak dan
cucu-cucunya sudah tidak tinggal di Ngerang lagi, tetapi di Pati. Trah Ngerang
inilah yang menjadi penguasa Pati, dari Abdullah Nurul Yaqin, Ali Nurul Yaqin,
Ki Penjawi dan Wasis Kusumo.
Wasis Kusumo yang
bernama asli Raden Siddieq Nurul Yaqin merupakan tokoh legendaris di mana orang
Pati modern lebih akrab menyebutnya Wasis Joyokusumo. Sementara kakaknya,
Waskita Jawi diperistri Panembahan Senopati, pendiri Mataram yang saat ini
menjadi Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Makam Sunan Pati
diindikasi kuat berada di Desa Metraman, Kecamatan Margorejo, Pati. Penduduk
setempat mengenalnya Mbah Ali atau Sunan Pati.
Ada tiga makam yang
berada di dalam kompleks bangunan bercat hijau dengan kemarik hijau. Bagian
bawah nisan makam dicat hitam, atasnya putih dengan dibungkus kain mori putih pada
kedua penanda pusara.
Sugiyono mengungkapkan,
Sunan Pati bernama Ali Nurul Yaqin, putra Abdullah Nurul Yaqin dan cucu
Mohammad Nurul Yaqin. Dalam literasi sejarah, Ali Nurul Yaqin dikenal sebagai
Sunan Ngerang ketiga, yaitu cucu dari Sunan Ngerang pertama.
Sunan Ngerang ketiga
itulah yang melahirkan Ki Ageng Penjawi, tokoh legendaris asal Kadipaten Pati.
Dalam dunia sejarah versi Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Penjawi dikenal sebagai
pendekar “tiga serangkai” bersama Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani.
“Setelah Ki Penjawi
dewasa dan cukup umur, beliau diangkat menjadi penguasa Kadipaten Pati, sebuah
tanah merdeka, berdiri sendiri setelah melepaskan diri dari Kerajaan Pajang
pimpinan Joko Tingkir,” ungkap Sugiyono.
Saat memimpin Pati, Ki
Penjawi menempatkan ayahnya, Sunan Pati menjadi imam atau sering disebut
panotogomo, yang berarti penata agama. Sementara Ki Penjawi, putranya sebagai
panotogoro, penata negara.
“Konsep kenegaraan
seperti ini sama yang diterapkan Kesultanan Demak, sejak Bupati Pati pertama
bernama Kayu Bralit. Dalam sistem kesultanan, ada yang namanya panotogomo dan
panotogoro. Ada semacam pimpinan yang khusus menata agama dan negara,”
imbuhnya.
Ditanya soal parameter
sejarah yang digunakan, Sugiyono mengaku mendapatkan dari sumber sejarah
seperti Suluk Walisongo, catatan De Graaf, serta metahistoris. Menurutnya,
metode metahistoris diakui sangat penting, karena berfungsi sebagai penunjuk
untuk menelusuri jejak sejarah.(*)
Sumber : Koran Muria
0 comments:
Post a Comment